bebas bayar, pembayaran mudah dan cepat, transaksi online, pembayaran tagihan dan tiket, transfer dana online

27 Maret 2013

Prestasi Anak, untuk siapa?

Oleh : A. Faesholi, S.Pd.

Sebut saja namanya Junaidi, umurnya kira-kira 11 tahunan. Sekarang duduk di kelas 5. Ia  pulang sekolah dengan wajah cemberut. Dia langsung masuk ke kamarnya dan tidak keluar sampai sore hari. Junaidi sudah membayangkan, ayahnya akan marahbesar karena Junaidi mendapat nilai empat untuk ulangan Matematikanya kemarin.Dulu ketika ulangan IPS-nya mendapat nilai empat juga, ayah marah dan menghukumJunaidi tidak boleh main ke luar hingga satu minggu. Junaidi juga tidak mendapatkanuang saku selama dua hari. Junaidi sangat takut. Guru di sekolah minta supaya ulangan tersebut ditandatangani orangtua. Mau tidak mau ayah akan mengetahui dia mendapat nilai empat lagi dan Junaidi pasti terkena omel ayah. Tetapi, bila tidak minta tanda tangan, pasti bapak guru di sekolah marah. Perasaan takut dan cemas menggelayuti perasaan Junaidi. Bingung apa yang harus dilakukannya, Junaidi memberanikan diri memalsu tanda tangan orangtuanya. Usaha itu ternyata berhasil. Orangtuanya tidak tahu dirinya mendapat nilai jelek, sementara guru juga tidak marah karena sudah ada tanda tangan orangtua di kertas ulangan itu. Keberhasilan memalsu tanda tangan yang melepaskan Junaidi dari omelan ayah dan gurunya, diulang terus oleh Junaidi setiap kali Junaidi mendapat nilai jelek. Orangtua hanya tahu Junaidi selalu mendapat nilai bagus. Sementara, guru merasa orangtua Junaidi sudah mengetahui kualitas Junaidi di sekolah seperti apa. Ketika hari pembagian rapor tiba dan prestasi Junaidi ternyata biasa-biasa saja bahkan ada dua nilai lima di rapornya, baru ‘seluruh dunia’ ribut. Orangtua tidak menerima Junaidi tidak naik kelas karena selama ini nilainya bagus. Sementara guru juga tidak bisa menerima protes karena merasa orangtua telah mengetahui semua nilai ulangan Junaidi.
TIDAK hanya orangtua Junaidi yang kecewa jika anaknya gagal atau mendapat nilai jelek di sekolah. Mereka ingin anaknya mencetak prestasi lebih tinggi dari teman-temannya. Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, orangtua tidak segan-segan memarahi anaknya dan menghukumnya dengan hukuman cukup berat jika anaknya mendapat nilai jelek.
Sebenarnya apa itu prestasi? Menurut seorang psikolog, prestasi adalah perwujudan dari bakat dan kemampuan. Bakat merupakan kemampuan bawaan yang berupa potensi. Namun, walau potensi ini sudah ada di dalam diri, tetap butuh latihan dan pengembangan terus menerus. Jika bakat tidak dilatih dan dikembangkan, maka tidak mendatangkan manfaat apa pun pada orang yang memilikinya.
Kemampuan merupakan daya atau kesanggupan melakukan suatu tindakan. Kemampuan ini didapat dari hasil pembawaan dan latihan. Kenyataannya, walau seorang anak memiliki bakat dan kemampuan, tidak mudah membuat seorang anak berprestasi. ‘Banyak kenyataan di luar diri anak yang membuat kedua hal itu tidak muncul. Kenyataan paling jelas adalah kenyataan di keluarga, kenyataan di media, dan kenyataan di sekolah’, diungkapkan di tengah seminar Club Buah Hati bertajuk Menghantar Anak Berprestasi dengan Cara Menyenangkan. Kenyataan-kenyataan itu harus dilihat secara keseluruhan. Misalnya di rumah, bila setiap hari sang anak mendapatkan gizi yang baik dan rangsangan yang tinggi dari keluarganya, anak bisa berkembang dengan cepat dan cerdas. Namun, di sisi lain ada orangtua yang menuntut segala sesuatu dengan standar tinggi yang begitu tingginya sampai tidak satu pun anak bisa menjangkaunya. Anak tidak diberi kesempatan untuk sekali-kali merasakan hal-hal di bawah standar yang ditetapkan. Jika prestasi anak dibawah standar, maka hanya omelan dan hukuman yang didapat anak.
Hal lain yang membuat anak tidak berprestasi, yaitu sikap orangtua yang membiarkan anak mengonsumsi seluruh sajian yang ditayangkan di media. Sajian seperti di televisi atau komik memang sangat menarik bagi anak, namun tidak semua informasi merupakan informasi sehat dan dibutuhkan anak. Akibatnya, anak mengetahui banyak hal yang belum pantas. Orangtua lupa dia tidak punya kemampuan mengontrol seluruh materi yang ditampilkan di media.
Di sekolah, anak juga mendapatkan kenyataan yang membuatnya sulit berprestasi. Misalnya, materi pembelajaran dan cara penyampaian tidak menarik. Hal ini terjadi karena guru tidak paham tentang perkembangan anak. Gaya komunikasi guru tidak sesuai dengan anak-anak. Selain itu, buku dan alat peraga yang digunakan tidak bisa memenuhi rasa ingin tahu dan kemampuan anak.
***
LALU bagaimana menyelenggarakan pendidikan yang menyenangkan bagi anak sehingga anak bisa berprestasi? ‘Ada tiga C yang harus diperhatikan, yakni children (anak),content (materi) dan context (situasi)’.
Orangtua dan guru harus menyadari setiap anak merupakan pribadi yang unik dan berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan ini terjadi karena setiap anak mempunyai bakat, kemampuan dan kebutuhan yang berbeda. Setiap anak pastilah mempunyai salah satu dari sembilan kecerdasan yang diberikan Tuhan. Bahkan, ada juga anak yang memiliki lebih dari satu kecerdasan. Kecerdasan itu adalah kecerdasan linguistik, matematika-logika, ruang-visual, musik, naturalis, interpersonal, intrapersonal, kemampuan olah tubuh, dan spiritual. Selain itu, ada beberapa potensi yang bisa dikembangkan anak, seperti fisik, iman,akhlak, ibadah, emosi, sosial, mental, dan keterampilan. Biarkan anak mengembangkannya seperti keinginannya, jangan kembangkan seperti keinginan orangtua. Sebab keinginan orang tua belum tentu sama dengan keinginan yang dimiliki oleh seorang anak. Begitu juga sebaliknya. ‘Orangtua hanya mengarahkan saja’. Begitu juga dengan materi yang akan disampaikan pada anak. Materi harus yang dibutuhkan anak, bukan yang diinginkan orangtua. Namun demikian, materi itu juga harus disesuaikan dengan perkembangan anak, kemampuan dan bakat anak. Perlakuan yang tepat dan materi yang sesuai tidak akan mempunyai efek yang positif jika tidak disampaikan pada situasi yang tepat.
Namun demikian, sebagai orang tua tidak begitu saja membiarkan anaknya bertindak semaunya sendiri menuruti keinginannya. Mereka perlu bimbingan dan pengawasan dari kita. Mungkin langkah keseimbangan agar anak dengan orang tua bahkan guru di sekolah bisa menerima keinginan-keinginan itu tadi, sebagai pembimbing hendaknya bersikap bijaksana, misalnya jika sebagai orang tua melarang anak bermain pisau karena pisau itu tajam dan berbahaya, maka sebagai orang tua harus mampu mencarikan pengganti pisau tadi.
  ‘Ada tiga cara penyampaian yang efektif, yakni dengan bermain, bernyanyi, dan bercerita. Tidak ada salahnya sesekali kita meninggalkan status kita sebagai orangtua. Kita bisa juga sekali-sekali berubah menjadi badut, tukang sulap, ilmuwan, atau sahabat bagi anak kita’.
Nah, kalau melihat contoh kasus yang diungkapkan di atas. Prestasi yang dimiliki oleh anak sebenarnya untuk siapa? Apakah untuk orangtua ataukah untuk guru. Satu yang harus dipahami baik guru maupun orangtua, prestasi anak bukanlah prestasi untuk mereka. Prestasi itu untuk diri anak itu sendiri. Orangtua cukup mengarahkan dengan benar dan membantu anak dengan cara-cara yang disukai anak, bukan dengan hukuman atau omelan yang bisa merusak hubungan harmonis anak dengan orangtua. Dan, keberhasilan anak tidak saja dari usaha yang dilakukan anak, tetapi juga keterlibatan orangtua, sekolah dan lingkungan di sekitarnya.

Bahan pustaka :
A. Faesholi, S.Pd. Sebuah artikel tentang Psikologi Anak disrangkum dari sebuah web.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon beri ucapan atau komentar,saran, maupun kritik pada blog ini. Terima kasih